Rabu, 30 September 2015

Tradisi Larung Sesaji Telaga Ngebel Ponorogo

Ponorogo, kota Kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Timur. Disanalah terletak Ngebel sebuah kecamatan seluas 6 ribuan kilometer persegi. Letak persisnya ada di kaki Gunung Wilis. Perlu 1 1/2 jam berkendaraan dari pusat kota kabupaten. Inilah Telaga Ngebel. Tapi siapa sangka, telaga indah ini punya citra angker bagi warga setempat. Entah sudah berapa banyak orang yang tenggelama di sini. Pada malam 1 Suro yang dalam penanggalan Islam berarti 1 Muharam, ada sebuah ritual tahunan disebuah telaga yang dipercaya sering mengambil korban jiwa. Perjalanan berliku mengelilingi gunung dan bukit merupakan suasana yang menyegarkan. Indahnya alam di Ngebel semakin lengkap bila memandang telaganya.
Perahu rekreasi yang dulu pernah ada kerap tenggelam dan rusak saat melintasi telaga. Mau tidak mau, sejumlah peristiwa itu kian menguatkan angkernya sang telaga. Ingin tahu lebih lengkap, tim Teropong pun diantar Anam Ardiansyah, budayawan asal Ponorogo menemui Mbah Budiharjo yang tinggal di tepi telaga. Warga setempat menyapanya Mbah Budi. Ia adalah penduduk asli Ngebel yang dianggap tahu banyak mengenai mitos di Telaga Ngebel.
Konon, telaga ini muncul sebagai ekses kemarahan seorang pemuda miskin bernama Baru Klinting yang sering diejek penduduk sekitar yang arogan. Klinting sendiri sebetulnya manusia jelmaan seekor naga yang dibunuh warga setempat untuk konsumsi pesta rakyat.

Kedatangan Klinting yang seperti pengemis memicu kemarahan warga yang jijik melihat penampilan sang pemuda. Hanya Nyai Latung yang berbaik hati padanya. Sang pengemis pun marah dengan kesaktiannya ia menenggelamkan seluruh desa. Hanya Nyai Latung yang selamat. Air bah itulah yang kini dikenal sebagai Telaga Ngebel. Sejak itu pula, beragam bencana dan musibah terus-terusan mendera Ngebel. Dari mulai musim paceklik, gagal panen hingga wabah penyakit. Bencana yang selalu datang hingga kini. Ada 4 lokasi keramat yang sering diberi sesaji oleh masyarakat.

Diantaranya Gua Kumambang yang sekarang terendam air dan Gua Nyai Latung serta Bebong. Mitos Ngebel juga terkait dengan sesepuh Reog Ponorogo Raden Batoro Katong. Ketempat petilasannya inilah sekarang Kami menuju. Batoro Katong yang merupakan putra Raja Brawijaya ke V pernah bersembunyi dari kejaran musuh dan bertapa disalah satu gua yang ada di tepi telaga. Tempat Batoro Katong singgahpun jadi keramat. Bahkan bila salah satu warga Ngebel punya keinginan tertentu, ia melakukan tirakatan dan memberi sesaji di tempat ini. Bila malam Jumat tiba, Telaga Ngebel ramai oleh beragam sesaji dari mereka yang percaya. Puncaknya adalah saat malam 1 Suro. 

 Sagun Yang Tangguh

Pagi menjelang malam 1 Suro saat udara sedingin es, warga Ngebel mengadakan upacara qurban. Seekor kambing dengan bulu warna putih tidak putus melingkar bagian tengah tubuhnya atau yang disebut dengan kambing kedit akan disembelih. Darah kambing yang ditampung di kain putih ini dihanyutkan ke muara telaga. Sang kepala akan dilarung ke telaga nanti malam dan kaki kambing akan ditanam di empat tempat keramat. Sementara itu seorang warga bernama Sagun akan mengemban tugas penting. Ialah pembawa sesaji ke tengah telaga dalam ritual yang akan berlangsung nanti malam.Konon, tidak sembarang orang bisa membawa dan berenang menghayutkan sesaji ke tengah telaga.

Sagun sendiri mengaku tidak punya ilmu penangkal apapun selain mahir berenang. Lelaki tiga anak ini sehari-harinya bekerja sebagai pengawas pengairan di Ngebel. Bila ada orang yang tenggelam di Ngebel, biasanya Sagun yang diminta mencari. Tak heran ia terus dipercaya sebagai pembawa larungan sesaji.Malam 1 Suro, Kami pun kembali menuju telaga. Larung sesaji akan berlangsung malam ini. Disepanjang jalan menuju Telaga Ngebel, warga memasang obor sebagai penerangan jalan. Tradisi menyalakan obor saat malam 1 Suro ini sudah berlangsung lama. Menambah suasana mistis yang sudah terasa sejak pagi.

Akhirnya, Kami sampai di aula kecamatan tempat larung akan dimulai. Sekitar 40 sesepuh dan dukun Ngebel berkumpul di aula kecamatan. Mereka akan tirakatan. Dalam acara ini, sejenis matra Jawa kuno dibaca bersama-sama. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tradisi larung saji di Ngebel ini berlangsung. Yang jelas, sang telaga seperti tak jera meminta korban jiwa. Seusai tirakatan, saatnya menuju danau. Penerangan yang digunakan seadanya menambah aroma gaib di tempat ini. Apalagi udara sangat dingin. Tapi semua itu tidak menyurutkan langkah para sesepuh untuk mengelilingi danau menanam 4 potongan kaki di tempat-tempat keramat.

Dalam waktu hampir bersamaan, upacara larung sesaji segera dimulai. Potongan kepala kambing yang sudah dimasak dijadikan sesaji, dihanyutkan ke tengah telaga dibawa Sagun sang pembawa. Malam yang gelap membuat pandangan ke tengah telaga tidak begitu jelas. Semua yang hadir malam ini menanti kepulangan Sagun. Sagun memang tangguh, tak lama ia pun kembali. Padahal selain ada kisah angker yang membayangi, air di telaga sungguh amat dingin. Usai larung sesaji kembali diadakan doa bersama sebagai ungkapan syukur. Besok pagi akan digelar kembali larung sesaji, tapi dengan nuansa berbeda.

Mengapa Ada Larung Lagi
                                                                                  
Pagi hari 1 Suro atau 1 Muharam larungan kembali digelar. Tapi yang ini lebih sebagai modifikasi yang dilakukan pihak pemerintah daerah setempat. Dalam perkembangannya, larung sesaji yang penuh aroma gaib memang menjadi kontroversi di masyarakat Ponorogo. Sebagai kota santri yang hampir seluruh penduduknya pemeluk Islam, larung sesaji dianggap tidak relevan dengan ajaran Islam.

Tapi disisi lain, larung sesaji sudah jadi tradisi yang melekat pada warga setempat. Pemerintah Daerah setempat kemudian berinisiatif memodifikasinya dengan larung berisalah doa. Ini juga sebagai salah satu upaya Pemda untuk menarik wisatawan datang ke Ngebel. Karena Ngebel yang kaya potensi wisatanya ini jarang jadi tempat tujuan wisata. Kebanyakan sudah ketakutan dulu bila mendengar mitos Ngebel. Kalau melihat jumlah pengunjung yang datang menyaksikan larungan pag ini, upaya itu cukup berhasil. Dari sisi prosesi, larung risalah mirip dengan larung sesaji yang dilakukan malam hari.

Perbedaannya ada pada jenis sesaji dan doa. Pada larung risalah ini ukuran sesajinya jauh lebih besar. Terbuat dari beras dan bahan makanan lainnya.
Nuansanya pun tidak seperti tadi malam. Mungkin karena yang hadir saat ini jauh lebih banyak. Bahkan Kami bisa ikut naik ke atas perahu mengiringi sang pembawa sesaji.
Dalam larung risalah, sesajian ini diperuntukan bagi hewan penghuni telaga seperti ikan. Selain sesaji, ikut ditenggelamkan juga kota berisi doa keselamatan kedasar telaga. Tujuannya meminta keselamatan dan perlindungan Tuhan.
Seiring dengan tenggelamnya sesaji, usai sudah ritual tahunan di Ngebel. Tak lama lagi telaga ini akan kembali tenang, kembali ditakuti. Tapi mungkin, mitos ini jugalah yang melindungi keberadaan Telaga Ngebel yang keindahannya terjaga hingga kini.


Sumber: https://banyuagung.wordpress.com/mylandscape/lndscape-kota-reog/

Pentas Reog Malam Bulan Purnama Sebagai Atraksi Rutin di Ponorogo




Kabupaten Ponorogo sebagai sebuah kota yang di kenal dengan asal Atraksi Reog Ponorogo memiliki beragam objek dan daya tarik wisata. Tentu saja sebagai atraksi utamanya adalah Reog itu sendiri. Namun sebagai kota asal Seni Budaya Reog, ternyata tidak setiap hari kita bisa menjumpai pagelaran seni tradisional ini. Banyak pertanyaan yang diajukan oleh wisatawan lokal ataupun mancanegara, bahkan masyarakat dari daerah di luar Kabupaten Ponorogo yang menanyakan tentang Reog Ponorogo.
Pertanyaan yang sering kali sulit dijawab adalah ” Kapan saya bisa melihat Reog Ponorogo di sana?” atau “Apakah Reog selalu ada saat saya berkunjung di sana?” atau yang satu ini, “Di mana saya bisa melihat Reog bila sewaktu-waktu berkunjung kesana?”. Hal tersebut sangat sulit dijawab bahkan oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo. Kebanyakan jawaban yang diberikan yaitu seputar Grebeg Suro dan Festival Reog yang diselenggarakan di Aloon-aloon Ponorogo.
Hal itu tentu saja aneh, mengingat Ponorogo sebagai kota asal Reog, namun ternyata tidak lazim diadakan sebagai rutinitas untuk menarik kunjungan wisatawan. Setelah mengkonfirmasi masalah tersebut dengan Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) Ponorogo, ada sedikit harapan bagi semua kalangan masyarakat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Disparda Ponorogo menjelaskan, bahwasanya Kab. Ponorogo memiliki rutinitas untuk menampilkan Reog Ponorogo sebagai Atraksi Budaya. Rutinitas diadakan bertepatan dengan adanya bulan purnama atau setiap tanggal 14 menjelang 15 kalender jawa atau kalender islam. Beberapa alasan yang muncul adalah karena biaya pengadaan pagelaran Reog tidak sedikit, sehingga di jadwalkannyalah pada setiap Malam Bulan Purnama.


Pagelaran tersebut dilakukan di Panggung Utama Aloon-Aloon Ponorogo pada pukul 19.30 WIB dan apabila terjadi hujan atau kendala lainnya maka tempat pagelaran dipindahkan di Paseban Aloon-Aloon Ponorogo. Pelaku seni yang memainkan pagelaranpun tidak berasal dari satu sanggar tari atau desa, melainkan dari kecamatan-kecamatan di Ponorogo secara acak dan bergiliran. Setiap kecamatan di Ponorogo memikili Yayasan Reog Ponorogo. Bahkan, dari salah satu sumber yang bisa dipercaya, hampir seluruh desa di Ponorogo memiliki Reog. 1 Kecamatan memiliki beberapa desa, yang juga memiliki Reog. Artinya setiap Kecamatan memiliki beberapa Reog.

Bapak Bambang Wibisono selaku Kepala Bidang Kebudayaan turut menjelaskan bahwa pemilihan Reog yang akan tampil mewakili setiap kecamatan ini memiliki beberapa cara pemilihan. Kecamatan A memilih Reog yang akan tampil adalah dari Desa AB karena Desa tsb memiliki Reog dan Penari terbaik dibandingkan dari Desa lainnya di Kecamatan yang sama. Kecamatan B memilih penari-penari terbaik dari beberapa desa yang ada di lingkungan Kec. B agar dapat menjadi susunan kelompok tari terbaik dari Kecamatan tsb. Kecamatan C melakukan rolling atau perputaran dari satu desa kemudian desa yang lain, misalnya tahun ini adalah desa CA dan tahun depan giliran desa CB yang akan tampil demikian seterusnya. Hal tersebut tergantung pada kebijakan pejabat kecamatan setempat.



Sumber:  https://ponorogopedia.wordpress.com/tag/kota-ponorogo/

Selasa, 29 September 2015

Asal Mula Terbentuknya Telaga Ngebel




Sejarah Asal Mula Kesenian Reog Ponorogo

Kesenian Reog Ponorogo cabang dari tarian tradisonal yang berasal dari Jawa Timur. Tarian ini yang diperkirakan sudah ada sekitar abad ke-15, tepatnya ketika masa terakhir dari kerajaan Majapahit. Pada awalnya, tarian ini merupakan sindirian atas ketidakmampuan dari Bhre Kertabhumi dalam memimpin Majapahit kala itu. Lalu, bagaimana sebenarnya asal mula dari kesenian Reog Ponorogo ini? Berikut adalah ulasan lengkap mengenai asal mula serta perkembangan dari Reog Ponorogo ini.
Ada lima versi mengenai asal mula kesenian Reog Ponorogo ini. Adapun salah satu cerita yang paling terkenal dari kelima cerita tersebut adalah ketika salah satu abdi yang bernama Ki Ageng Kutu berniat untuk melakukan pemberontakan kepada pimpinan Majapahit yang pada saat itu dijabat oleh Bhre Kertabhumi. Kejadian yang terjadi pada abad ke-15 tersebut dilatarbelakangi oleh murkanya Ki Ageng Kutu kepada istri sang Raja yang berasal dari Tiongkok. Hal tersebut dikarenakan dirinya merasa istri sang raja mempunyai pengaruh yang kuat terhadap raja. Selain itu, dirinya juga merasa bahwa raja hanya diam saja terhadap tindakan korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan Majapahit kala itu. Pada saat itu, diramalkan bahwa Majapahit akan segera berakhir dalam waktu cepat atau lambat.

 
Murka yang dirasakan oleh Ki Ageng Kutu ini semakin besar seiring berjalannya waktu. ketidaknyamanan yang dirasakan membuatnya memutuskan untuk meninggalkan posisinya sebagai abdi kerajaan dan mulai membuka sebuah sasana silat. Di sasana tersebut dirinya mengajari anak-anak mengenai ilmu bela diri, ilmu kekebalan serta ilmu kesempurnaan. Dengan melakukan hal tersebut, dirinya berharap anak-anak muda itu dapat menjadi bibit-bibit unggul jika Kerajaan Majapahit kebali bangkit. Seiring berjalannya waktu, Ki Ageng Kutu baru menyadari bahwa pasukan yang dibentuknya tersebut masih terlalu kecil untuk menggulingkan Bhre Kertabhumi dari posisinya sebagai raja, hal itulah yang kemudian mengilhaminya untuk menciptakan sebuah tarian yang diberi nama Reog. Nah, pertunjukan Reog inilah yang menjadi cara Ki Ageng Kutu untuk menambah kekuatan masyarakat lokal guna menggulingkan raja yang tengah berkuasa.
Properti yang selalu digunakan untuk pertunjukan Reog Ponorogo ini tetap sama dengan awal pertama kesenian ini muncul.yakni penggunaan topeng yang mempunyai kepada seperti harimau atau singa yang diberi nama “Singa Barong”. Bagian atas dari Singa Barong ini terdapat banyak bulu-bulu merak yang bentuknya menyerupai kipas. Singa Barong ini dibuat oleh Ki Ageng Kutu tersebut menggambarkan “raja hutan” atau seorang yang berkuasa. Topeng itu menggambarkan karakter Kerthabumi. Adapun arti dari bulu-bulu merak yang terdapat di atasnya juga menggambarkan sesuatu, yakni teman-teman Kerthabumu yang berada dari Tiongkok serta yang “ada di dalam kepalanya”, mengatur semua gerakan yang diperbuat oleh Kerthabumi. Di kesenian tersebut juga ada beberapa orang yang memainkan Jatilan, yaitu sekelompok penari gemblak yang menaiki kendaraan kuda sebagai simbol dari pasukan bersenjata dari Kerajaan Majapahit. Di dalam kelompok Jatilan ini tampak kontras dengan adanya warok yang menggunakan topeng berwarna merah.

Popularitas Reog semakin meningkat dari hari ke hari. Hal itu menimbulkan perasaan tidak senang di hati Bhre Kerthabumi. Ia merasa tidak senang karena sadar bahwa Reog itu merupakan cibiran secara tidak langsung terhadapnya yang menjabat sebagai raja. Tidak membutuhkan waktu yang lama, Bhre Kerthabumi langsung menyerang perguruan yang dibentuk Ki Ageng Kutu dan berhasil mengakhiri pemberontakan yang akan dilakukan oleh warok. Namun, hal itu tidak menghalangi aksi dari murid perguruan Ki Ageng Kutu. Mereka tetap melakukan pementasan Reog secara diam-diam karena masyarakat sudah terlanjur mencintai kesenian ini. Itulah sebabnya mereka kemudian membuat cerita baru serta karakter baru yang berasal dari cerita Rakyat Ponorogo seperti Sri Genthayu, Kelono Sewandono, dan Dewi Songgolangit.
Cerita mengenai kesenian Reog Ponorogo yang berkembang di masyarakat sama dengan cerita yang dipentaskan dalam tarian Reog Ponorogo itu sendiri. Cerita tersebut berkisah mengenai seorang putri yang mempunyai paras sangat cantik bernama Dewi Sanggalangit. Ia merupakan putri dari raja yang amat terkenal di daerah Kediri. Karena kecantikan itulah membuat banyak pangeran serta raja yang berniat untuk meminangnya. Akan tetapi, Dewi Sanggalangit belum berminat untuk menikah, hal tersebut membuat sang raja bertanya-tanya. Ia langsung mendatangi Sanggalangit untuk menanyakan mengapa selalu menolak pinangan yang datang. Sanggalangit hanya mengatakan bahwa ada satu syarat yang dirinya sendiri belum tahu. Demi mengetahui syarat tersebut ia kemudian melakukan semedi dan bertanya kepada dewa supaya mendapatkan jawaban terbaik.
Setelah empat hari melakukan semedi, Sanggalangit akhirnya menghadap sang raja dan memberi tahu persyaratan yang sudah didapatkannya. Dia mengatakan bahwa dirinya menginginkan calon suami yang bisa menciptakan sebuah tontonan menarik yang di dalamnya terdapat hewan berkepala dua dan 140 ekor kuda kembar. Banyak calon peminang Sanggalangit yang menyerah setelah mendengar syarat tersebut. Akan tetapi, ada dua orang yang masih berani untuk melanjutkan perjuangannya mendapatkan cinta Sanggalangit yakni Singabarong dari Kerajaan Lodaya dan Kelanaswandan dari Kerajaan Bandarangin.

Kelanaswandana mampu untuk mengumpulkan semua persyaratan dari Sanggalangit. Namun, dirinya tidak bisa mendapatkan hewan berkepala dua. Ketika dirinya hendak mencari hewan tersebut, ia memerintahkan patihnya untuk menyelidiki Singabarong. Hal tersebut dikarenakan Singabarong dikenal sebagai raja yang tidak kenal ampun dan akan melakukan apa saja untuk menang. Ternyata benar saja, Singabarong memang berniat untuk menyabotase Kelanaswanda. Hal itu membuat Kelanaswandana segera menyerang kerajaan Singabarong dan mengajaknya bertempur satu lawan satu.

Mereka berdua akhirnya melakukan pertempuran. Ketika Singabarong belum bersiap-siap, Kelanaswandana segera mengeluarkan kesaktiannya. Hal itu menyebabkan burung merak yang sedan asyik mematuki kepalanya menempel dan membuat Singabarong menjadi berkepala dua. Dirinya mengamuk, kemudian Singabarong menghunuskan kerisnya ke arah Kelanaswandana. Namun Kelanaswanda berhasil menghindar dan membalasnya dengan pecutan cambuk Samandiman. Pecutan dari cambuk Samandiman itu ternyata memiliki kesaktian yang membuat Singabarong terpental sehingga berubah menjadi hewan yang berkepala dua. Dengan demikian, membuat Kelanaswanda berhasil untuk memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Sanggalanggit. Ketika Kelanaswandana sampai di Wengker, seluruh masyarakat yang ada di sana pun bersorak gembira melihat pertunjukan yang disuguhkan. Terlebih lagi ketika mereka melihat adanya hewan aneh yang berkepala dua. Pada akhirnya, Dewi Sanggalangit dan Kelanaswandana menikah. Pernikahan tersebut diabadikan sebagai sejarah penting lahirnya kesenian Reog Ponorogo yang menjadi salah satu kesenian tradisional asli Indonesia

Sumber: http://www.infoyunik.com/2015/09/sejarah-asal-mula-kesenian-reog-ponorogo.html

Wisata Kuliner Ponorogo


Sedang berada atau berlibur didaerah selatan Jawa Timur? Kota Ponorogo layak dijadikan opsi untuk liburanmu. Mungkin untuk pilihan liburan hemat, bisa menjatuhkan pilihan pada kota kecil ini. Berbatasan langsung dengan Pacitan, Madiun dan Magetan, kota Ponorogo masih merupakan kabupaten, dan selayaknya kabupaten kamu nggak bakal menemukan skyscraper disini. Mungkin, kalau ingin merasakan liburan yang jauh dari kesan modern, kamu boleh mencoba! Ikon kota Ponorogo sendiri adalah kota Reog, kota yang merupakan akar budaya dari kesenian Reog muncul.


Kesenian Reog sendiri merupakan kesenian yang sudah mendunia, dan tiap tahun di kota Ponorogo diadakan Festival Reog Nasional yang mana para pesertanya berdatangan dari seluruh penjuru Indonesia. Acara tahunan ini diadakan di Alun-Alun Kota Ponorogo, selain itu pada bulan purnama juga diselenggarakan acara pentas seni tari juga disini! Salah satu alat musik dari kesenian Reog ini salah satunya adalah Gamelan, satu set dari instrumen kesenian Reog ini dibuat di daerah Paju, daerah ini masyarakatnya merupakan pengrajin kuningan dan salah satunya pengrajin Gong. Kalau mau oleh-oleh buat kerabat, kalian bisa datang ke sekitar Pasar Songgolangit Selatan, sebenarnya Pasar Songgolangit merupakan pasar tradisional yang terletak di pusat kota, namun penamaan selatan ini lebih karena letak dari pasar tersebut.
Selain itu Pasar Songgolangit Selatan ini lebih didominasi dengan pedagang pakaian, sedangakan Pasar Songgolangit sendiri lebih pada pasar tradisional pada umumnya. Nah, di Pasar Songgolangit Selatan lantai bawah, kalian bisa menemukan toko yang menjual beberapa oleh-oleh khas kota Ponorogo. Mulai dari aneka t-shirt dengan berbagai macam gambar, reog mini, gantungan kunci, dan beberapa aksesori khas yang dikenakan pada pertunjukan Reog. Harganya lumayan terjangkau lho! Untuk wisata kulinernya, di kota kecil ini ungkin tidak terlalu banyak pilihan. Namun untuk pilihan makanan murah, disini surganya! Makanan yang selalu menjadi incaran para pelancong adalah sate Ponorogo, sate Ponorogo ini memiliki ukuran yang lumayan besar, daging ayam yang lembut dan empuk serta siraman bumbu kacangnya yang yahud! Untuk pilihan sate Ponorogo, beberapa direktori yang layak dikunjungi antara lain:

   1.  Gang Sate




Senin, 28 September 2015

Wisata Tanah Goyang Ponorogo




Mungkin diantara pembaca ada yang belum tahu apa itu tanah goyang? Jangankan Anda, mungkin sebagian warga Ponorogopun ada yang belum pernah mendengar bahwa di wilayahnya terdapat sebuah fenomena alam yang cukup unik, berupa tanah gerak di sebuah lembah kaki bukit kawasan pegunungan kec Pudak.

Rabu, 23 September 2015

Sisi Menarik Dari Ponorogo


Jawa Timur tidak cuma punya pesona alam dan pantai yang luar biasa, kekayaan budayanya juga menarik untuk digali. Siapa yang tidak kenal dengan kesenian reog, misalnya? Nah, Kabupaten Ponorogo adalah ibu dari pementasan tari yang mendunia ini.
Sebelum membahas reog lebih jauh,  saya akan mengajak anda berkeliling menjelajahi berbagai pesona lain yang dimiliki oleh Ponorogo. Keelokan apa aja sih yang tersembunyi di balik Kota Reog ini? Yuk, kita gali satu per satu.
Diberdayakan oleh Blogger.

Followers