Sabtu, 03 Oktober 2015

Wisata Beji Sirah Keteng


Ponorogo sebenarnya banyak wisata mistisnya, akan tetapi banyak orang yang belum tahu beberapa wisata di Ponorogo diantaranya beji (mbeji). Beji adalah sebuah kedungan/kolam dimana pinggirnya dibangun dengan plengsengan contohnya saja di kecamatan Sambit kabupaten Ponorogo terdapat beberapa beji di antaranya beji Sirah Keteng dimana terletak di desa Bedingin, Beji Sumber Gondang di desa Maguan, Sumber Beji juga di desa Maguan, dan beji Cangkring ada di desa Nglewan Sambit Ponorogo.

Taman Wisata Ngembag Ponorogo


2 Km menuju ke arah Pulung Jl. Yos Sudarso  dari arah alun - alun ponorogo terdapat wahana bermain dan hiburan anak dan keluarga. Taman wisata ini terletak di kecamatan Siman. Sebelumnya, taman wisata Ngembag dikenal sebagai mata air yang tak terawat.  oleh Pemkab Ponorogo telah di kembangkan sebagai taman kota yang dilengkapi dengan kolam renang anak dan juga beberapa permainan anak-anak.



Kintamani Waterpark Ponorogo

Kintamani Waterpark merupakan salah satu wahana wisata air di Ponorogo yang sering dikunjungi oleh wisatawan. Lokasi wahana dengan luas sekitar 1,8 hektar ini berada di Jln Ki Ageng Kutu , Nomer 9, Siman, Ponorogo. Kintamani Waterpark memiliki 2 kolam renang anak dan telah dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti seluncuran. Disamping itu, terdapat kolam renang dewasa, sarana outbond, mushola, kamar mandi, dan sebagainya.
Selain Waterpark, obyek wisata di Ponorogo ini juga didukung oleh sebuah restoran bernuansa alam pedesaan dan terletak diatas danau buatan. Restoran dengan kapasitas sekitar 100 ini, akan membuat suasana makan bersama keluarga, temat, ataupun rekan kerja menjadi lebih nyaman dan menyenangkan. Harga tiket masuk Kintamani Waterpark adalah sebesar Rp.5.000/orang pada hari Senin s.d Jumat. Sedangkan hari Sabtu, Minggu, serta hari Libur Nasional seharga Rp.10.000/orang dewasa, dan Rp.8.000/anak.



Kamis, 01 Oktober 2015

Pesona Air Terjun Tumpuk Sawoo

Bertempat di Desa Tumpuk Kecamatan sawoo Ponorogo, yang tepatnya desa sebelum perbatasan Ponorogotrenggalek, saya mencoba mencari suatu tempat untuk hanya sekedar foto-foto untuk narsis. Ya sebelumnya saya juga tidak tahu akan kemana tujuannya, tapi setelah mengamati dari jalan raya Ponorogo-Trenggalek (pandangan saya arahkan ke suatu lembah). dan saya pun menuju ketempat tersebut. Dan ternyata benar saja, saya dapat menikmati pemandangan yang luar biasa dibawah jembatan yang akan menuju desa tersebut. Batu-batu besar, kelokan-kelokan air yang terbentuk  proses alam, jernihnya air yang segar, menghiasi proses pengambilan gambar. Dan kalau saya bisa berkata, ini adalah seperti water boom alami, karena bentuk aliran diatas batu cadas yang halus bekelok-kelok. Aliran air disungai yang namanya sendiri kurang tahu namanya ini membentuk air terjun tiga tingkat yang rta tingginya sekitar 4 sampai 7 meter, dan setiap tingkat mempunyai kolam besar yang dalam dibawah jatuhnya air tersebut. Dan inilah dokumentasinya :




Sumber: http://i245.photobucket.com/albums/gg41/moharifudin/Ehm_caem014-1.jpg


Gunung Bayang Kaki Ponorogo


Gunung Bayangkaki adalah gunung yang tak aktif yang terletak di Ponorogo Jawa Timur, tepatnya di Desa Temon, Kecamatan Sawoo. Gunung Bayangkaki memiliki empat puncak, yakni Puncak Ijo (Gunung Ijo), Puncak Tuo (Gunung Tuo), Puncak Tumpak (Puncak Bayangkaki) dan Puncak Gentong (Gunung Gentong). Di balik indahnya alam dan kokohnya batu-batu besar yang menjulang, Bayangkaki memiliki berbagai keunikan dan masih diselimuti dengan mitos yang terus berkembang dalam masyarakat sampai sekarang. Salah satu mitos yang berkembang dalam masyarakat adalah ketika Puncak Gentong sudah terbakar tanpa sebab berarti musim penghujan akan segera tiba.

Penemuan Situs Bersejarah di Balong Ponorogo

Beberapa hari yang lalu, penduduk Ponorogo dikagetkan dengan berita penemuan sebuah situs bersejarah. Lokasinya berada di Dusun Bendo, Desa Karang Patihan, Kec. Balong, Ponorogo. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Antok, arkeolog dari Universitas Udaya, situs tersebut berupa sebuah kolam pemandian peninggalan Era Jayabaya. Selain kolam pemandian, juga ditemukan beberapa patung dan waruga.
Berita tersebut membuat saya dan juga 2 teman dari Universitas Muhammadiyah Ponorogo tertarik untuk melihat langsung di lokasi penemuan. Rabu (23/2) pagi, kami memutuskan berangkat. Sesampainya di lokasi, kebetulan kami bertemu dengan Bapak Antok, Bapak Kepala Desa Karang Patihan dan juga Bapak Sugiharto yang pernah masuk TV kemarin. He he... Tanpa pikir panjang, kesempatan langka ini kami manfaatkan untuk mencari informasi seputar penemuan situs bersejarah.

Menurut cerita Bapak Kepala Desa dan Bapak Sugiharto, dulu kolam tersebut berjumlah 2 dan masih bisa digunakan warga sekitar untuk mandi. Air di kolam ini jernih  yang bersumber di Gunung Jaran,  tambah  Pak Kepala Desa. Bapak Sugiharto juga menjelaskan,  air dari  sumber mengalir di dalam pralon yang terbuat dari kayu jati. Kemudian semenjak semakin gencar pergerakan Islam sekitar tahun 1965, pemandian ini dihancurkan dan ditimbun untuk mencegah kegiatan kepercayaan animisme-dinamisme.
Sementara waktu ini, peninggalan yang diketemukan 1 kolam, 2 patung dan 1 waruga. Selain bertemu dengan mereka, kami juga bertemu dengan utusan dari Museum Mpu Tantular dan Pemkab. Ponorogo. Meraka meneliti dengan seksama kolam pemandian, patung dan waruga serta lokasi di mana diketemukannya peninggalan bersejarah tersebut. Bapak Antok, arkeolog Universitas Udaya berpendapat, dimungkinkan di sekitar lokasi penemuan kolam pemandian ini terdapat candi yang masih tertimbun tanah. Berikut ini adalah foto-foto yang dapat kami abadikan :







Pagi beranjak menuju siang, awan mendhung juga mulai datang, sepertinya akan turun hujan. Setelah merasa cukup informasi, kami berniat untuk pulang. Kami hendak meminta ijin untuk pulang kepada bapak-bapak yang telah memberi informasi penting ini. Tetapi kami melihat meraka sedang berdiskusi. Entah tentang apa yang mereka diskusikan, kami langsung pergi saja meninggalkan lokasi karena sudah mulai gerimis. Kepada bapak-bapak yang saya hormati, kami mohon maaf. Terima kasih.
Sumber: http://phisitponorogo.blogspot.co.id/2011/02/penemuan-situs-di-balong-ponorogo.html

Air Terjun Coban Lawe Ponorogo

Ponorogo begitu banyak menyimpan potensi alam yang belum di ekspose, khususnya di daerah timur arah kota kecamatan Pulung, Kecamatan Pudak dan Kecamatan Sooko. Potensi alam tersebut masih asri dan "perawan", walau rute menuju lokasi masih jalan makadam dan jalan setapak tidak menjadi masalah dan akan terbayar dengan keindahan dan segarnya air yg mengalir sangat deras walau musim panaspun.
33km dari alun2 ponorogo kami tempuh dalam waktu 56menit. Dari Alun-2 kami menuju ke arah timur Kecamatan Pulung, di perjalanan akan disuguhi indahnya perbukitan nan hijau pada area perkebunan minyak kayu putih, bila memakai kendaraan pribadi setelah pabrik minyak kayu putik kita akan menemukan POM bensin terakhir sebelum menuju lokasi. Memasuki perempatan /polsek pulung kita akan disuguhi beraneka macam kuliner mulai dari sate kambing, nasi pecel sampai nasi gegog di seputar pasar Pulung, beberapa menit kemudian di kanan kiri jalan anda akan mendapati hamparan sawah yg sangat menarik tidak kalah dengan persawahan yg terkenal di bali, sampailah kita di Kantor Kelurahan Krisik, bila kita mengunakan kendaraan roda4 di situlah tempat terakhir kita parkir, Kondisi jalan menuju Coban Lawe hanya bisa dilalui dengan kendaraan roda dua, sekitar 500 meter dari jalan raya (pertigaan depan Kantor desa Krisik) kondisi jalan masih makadam sehingga ini akan menyulitkan pengendara untuk naik. Kemudian jalan yang berada di tengah hutan pinus hanya jalan setapak, sudah bisa dilalui dengan kendaraan roda dua namun harus dengan kehati-hatian, jika ceroboh tidak menuntut kemungkinan terpeleset dan juga masuk jurang.
Jika ditempuh melalui jalur Sooko-Pudak bisa diakses dari perempatan pasar Pulung belok kanan menuju arah ke Kecamatan Sooko, kemudian ikuti jalur menuju Kecamatan Pudak dan kemudian menuju ke Kantor Desa Krisik.  Jika melewati jalur Sooko-Pudak ini nanti akan ada alternatif tempat wisata  yang bisa dikunjungi yang berada di Kecamatan Sooko, diantaranya Air Terjun PletukGoa Maria FatmaBukit Mayong, Gunung Bedes, hamparan sawah yang indah, sentra susu perah, perkebunan buah naga dan juga sentra perikanan.  Dijalur ini pula akan melewati jalan di bawah rindangnya hutan pohon jati.
Setelah menempuh perjalanan yang sulit dan perjuangan yang luar biasa, sesampainya di air tejun jerih payah tersebut akan hilang dan berganti kekaguman akan keindahan air terjun. Kondisi secara keseluruhan coban lawe masih alami, di sekitar air terjun masih ditumbuhi berbagai macam tumbuhan liar. Suara kicauan burung sesekali berdendang mengikuti alunan butiran air yang jatuh dari ketinggian. Keadaan air sangat jernih ibarat air mineral yang siap diminum. Bulir-bulir air yang menerpa wajah ibarat selendang bidadari yang diusapkan ke wajah kita yang membuat kita enggan beranjak untuk meninggalkannya. Sepoi angin yang berhembus seakan mendorong diri untuk bermalas-malasan pergi dan ingin tetap menikmatinya. 


Setelah puas menikmati Coban Lawe 1 perjalanan kita lanjut menuju coban lawe 2 letaknya +/- 2km jalan setapak melewati sela2 pepohonan besar dan lebat.





Anda akan disuguhi suasana hutan belantara "kalimantan" plus hamparan rumput gajah, pohon bambu serta beraneka macam serangga unik dan jarang kita liat, untuk pecinta fotografi macro coban lawe sangat ideal dimana stok dan jenis serangganya sangat berfariasi dan melimpah








20 menit perjalanan santai sampailah kita ke coban lawe 2 atau oleh kami biasa disebut coban seket atau coban lima puluh. Di sini kondisi air terjunya lebih tinggi dan tanamanya lebat karena sangat jarang di kunjungi wisatawan dan penduduk sekitar, percikan air dingin air terjun diterpa angin mampu menghapus rasa lelah kita setelah berjalan +/- 2km.


Itulah tadi keindahan dari Air Terjun Coban Lawe Kecamatan Pudak Ponorogo yang masih alami dan belum mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masih dibiarkan apa adanya. Selamat berkunjung :)
Sumber: http://www.ratjoen.in/2015/03/wisata-adventure-air-terjun-coban-lawe.html

Tempat Wisata Di Kecamatan Ngrayun Ponorogo

Air Terjun Singgah

Lokasi Air Terjun ini adalah di Desa Selur Kecamatan Ngrayun Air yang meluncur deras dari ketinggian, jatuh mengenai bebatuan yang ada di bawahnya menimbulkan suara gemericik air menambah suasana yang asri. Air yang berasal dari pegunungan ini terasa begitu dingin saat disentuh. Selain dingin, air yang mengalir juga sangat jernih. Tak hanya itu, aliran air terjun Sunggah yang dibawahnya dipenuhi berbagai jenis ikan ini terus mengalir sepanjang tahun.Biasanya, kalau musim kemarau, suara gemericik air akan terdengar sampai jauh. Suara gemericik air ini oleh masyarakat sini dijadikan sebagai pertanda akan datang musim kemarau. Selain airnya dingin dan jernih, pemandangan di sekitarnya juga masih alami.

Watu Semaur
Watu Semaur ini terletak dipinggir jalan raya Ngrayun-Jajar tepatnya di Desa Selur Kecamatan Ngrayun Yakni, sebuah tebing batu besar yang berada di tengah-tengah padang rumput. Tebing batu ini oleh warga setempat kemudian dinamakan Watu Semaur, karena jika ada orang berteriak akan menggema seperti berteriak di dalam gua. Watu Semaur juga sering dimanfaatkan oleh para penghobi olah raga panjat tebing atau climbing. Karena, mempunyai ketinggian sekitar 125 meter, sehingga sangat cocok untuk mengadu nyali menaklukan ketinggian tebing ini. Jika musim kemarau, area di sekitar Watu Semaur sering dijadikan tempat berkemah. Banyak pengunjung yang sengaja berkemah disini untuk menikmati keindahan Watu Semaur sambil panjat tebing. Mereka berasal dari Ponorogo, Madiun, Magetan dan banyak juga dari Surabaya serta kota-kota lainnya.

Rabu, 30 September 2015

Tradisi Larung Sesaji Telaga Ngebel Ponorogo

Ponorogo, kota Kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Timur. Disanalah terletak Ngebel sebuah kecamatan seluas 6 ribuan kilometer persegi. Letak persisnya ada di kaki Gunung Wilis. Perlu 1 1/2 jam berkendaraan dari pusat kota kabupaten. Inilah Telaga Ngebel. Tapi siapa sangka, telaga indah ini punya citra angker bagi warga setempat. Entah sudah berapa banyak orang yang tenggelama di sini. Pada malam 1 Suro yang dalam penanggalan Islam berarti 1 Muharam, ada sebuah ritual tahunan disebuah telaga yang dipercaya sering mengambil korban jiwa. Perjalanan berliku mengelilingi gunung dan bukit merupakan suasana yang menyegarkan. Indahnya alam di Ngebel semakin lengkap bila memandang telaganya.
Perahu rekreasi yang dulu pernah ada kerap tenggelam dan rusak saat melintasi telaga. Mau tidak mau, sejumlah peristiwa itu kian menguatkan angkernya sang telaga. Ingin tahu lebih lengkap, tim Teropong pun diantar Anam Ardiansyah, budayawan asal Ponorogo menemui Mbah Budiharjo yang tinggal di tepi telaga. Warga setempat menyapanya Mbah Budi. Ia adalah penduduk asli Ngebel yang dianggap tahu banyak mengenai mitos di Telaga Ngebel.
Konon, telaga ini muncul sebagai ekses kemarahan seorang pemuda miskin bernama Baru Klinting yang sering diejek penduduk sekitar yang arogan. Klinting sendiri sebetulnya manusia jelmaan seekor naga yang dibunuh warga setempat untuk konsumsi pesta rakyat.

Kedatangan Klinting yang seperti pengemis memicu kemarahan warga yang jijik melihat penampilan sang pemuda. Hanya Nyai Latung yang berbaik hati padanya. Sang pengemis pun marah dengan kesaktiannya ia menenggelamkan seluruh desa. Hanya Nyai Latung yang selamat. Air bah itulah yang kini dikenal sebagai Telaga Ngebel. Sejak itu pula, beragam bencana dan musibah terus-terusan mendera Ngebel. Dari mulai musim paceklik, gagal panen hingga wabah penyakit. Bencana yang selalu datang hingga kini. Ada 4 lokasi keramat yang sering diberi sesaji oleh masyarakat.

Diantaranya Gua Kumambang yang sekarang terendam air dan Gua Nyai Latung serta Bebong. Mitos Ngebel juga terkait dengan sesepuh Reog Ponorogo Raden Batoro Katong. Ketempat petilasannya inilah sekarang Kami menuju. Batoro Katong yang merupakan putra Raja Brawijaya ke V pernah bersembunyi dari kejaran musuh dan bertapa disalah satu gua yang ada di tepi telaga. Tempat Batoro Katong singgahpun jadi keramat. Bahkan bila salah satu warga Ngebel punya keinginan tertentu, ia melakukan tirakatan dan memberi sesaji di tempat ini. Bila malam Jumat tiba, Telaga Ngebel ramai oleh beragam sesaji dari mereka yang percaya. Puncaknya adalah saat malam 1 Suro. 

 Sagun Yang Tangguh

Pagi menjelang malam 1 Suro saat udara sedingin es, warga Ngebel mengadakan upacara qurban. Seekor kambing dengan bulu warna putih tidak putus melingkar bagian tengah tubuhnya atau yang disebut dengan kambing kedit akan disembelih. Darah kambing yang ditampung di kain putih ini dihanyutkan ke muara telaga. Sang kepala akan dilarung ke telaga nanti malam dan kaki kambing akan ditanam di empat tempat keramat. Sementara itu seorang warga bernama Sagun akan mengemban tugas penting. Ialah pembawa sesaji ke tengah telaga dalam ritual yang akan berlangsung nanti malam.Konon, tidak sembarang orang bisa membawa dan berenang menghayutkan sesaji ke tengah telaga.

Sagun sendiri mengaku tidak punya ilmu penangkal apapun selain mahir berenang. Lelaki tiga anak ini sehari-harinya bekerja sebagai pengawas pengairan di Ngebel. Bila ada orang yang tenggelam di Ngebel, biasanya Sagun yang diminta mencari. Tak heran ia terus dipercaya sebagai pembawa larungan sesaji.Malam 1 Suro, Kami pun kembali menuju telaga. Larung sesaji akan berlangsung malam ini. Disepanjang jalan menuju Telaga Ngebel, warga memasang obor sebagai penerangan jalan. Tradisi menyalakan obor saat malam 1 Suro ini sudah berlangsung lama. Menambah suasana mistis yang sudah terasa sejak pagi.

Akhirnya, Kami sampai di aula kecamatan tempat larung akan dimulai. Sekitar 40 sesepuh dan dukun Ngebel berkumpul di aula kecamatan. Mereka akan tirakatan. Dalam acara ini, sejenis matra Jawa kuno dibaca bersama-sama. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tradisi larung saji di Ngebel ini berlangsung. Yang jelas, sang telaga seperti tak jera meminta korban jiwa. Seusai tirakatan, saatnya menuju danau. Penerangan yang digunakan seadanya menambah aroma gaib di tempat ini. Apalagi udara sangat dingin. Tapi semua itu tidak menyurutkan langkah para sesepuh untuk mengelilingi danau menanam 4 potongan kaki di tempat-tempat keramat.

Dalam waktu hampir bersamaan, upacara larung sesaji segera dimulai. Potongan kepala kambing yang sudah dimasak dijadikan sesaji, dihanyutkan ke tengah telaga dibawa Sagun sang pembawa. Malam yang gelap membuat pandangan ke tengah telaga tidak begitu jelas. Semua yang hadir malam ini menanti kepulangan Sagun. Sagun memang tangguh, tak lama ia pun kembali. Padahal selain ada kisah angker yang membayangi, air di telaga sungguh amat dingin. Usai larung sesaji kembali diadakan doa bersama sebagai ungkapan syukur. Besok pagi akan digelar kembali larung sesaji, tapi dengan nuansa berbeda.

Mengapa Ada Larung Lagi
                                                                                  
Pagi hari 1 Suro atau 1 Muharam larungan kembali digelar. Tapi yang ini lebih sebagai modifikasi yang dilakukan pihak pemerintah daerah setempat. Dalam perkembangannya, larung sesaji yang penuh aroma gaib memang menjadi kontroversi di masyarakat Ponorogo. Sebagai kota santri yang hampir seluruh penduduknya pemeluk Islam, larung sesaji dianggap tidak relevan dengan ajaran Islam.

Tapi disisi lain, larung sesaji sudah jadi tradisi yang melekat pada warga setempat. Pemerintah Daerah setempat kemudian berinisiatif memodifikasinya dengan larung berisalah doa. Ini juga sebagai salah satu upaya Pemda untuk menarik wisatawan datang ke Ngebel. Karena Ngebel yang kaya potensi wisatanya ini jarang jadi tempat tujuan wisata. Kebanyakan sudah ketakutan dulu bila mendengar mitos Ngebel. Kalau melihat jumlah pengunjung yang datang menyaksikan larungan pag ini, upaya itu cukup berhasil. Dari sisi prosesi, larung risalah mirip dengan larung sesaji yang dilakukan malam hari.

Perbedaannya ada pada jenis sesaji dan doa. Pada larung risalah ini ukuran sesajinya jauh lebih besar. Terbuat dari beras dan bahan makanan lainnya.
Nuansanya pun tidak seperti tadi malam. Mungkin karena yang hadir saat ini jauh lebih banyak. Bahkan Kami bisa ikut naik ke atas perahu mengiringi sang pembawa sesaji.
Dalam larung risalah, sesajian ini diperuntukan bagi hewan penghuni telaga seperti ikan. Selain sesaji, ikut ditenggelamkan juga kota berisi doa keselamatan kedasar telaga. Tujuannya meminta keselamatan dan perlindungan Tuhan.
Seiring dengan tenggelamnya sesaji, usai sudah ritual tahunan di Ngebel. Tak lama lagi telaga ini akan kembali tenang, kembali ditakuti. Tapi mungkin, mitos ini jugalah yang melindungi keberadaan Telaga Ngebel yang keindahannya terjaga hingga kini.


Sumber: https://banyuagung.wordpress.com/mylandscape/lndscape-kota-reog/

Pentas Reog Malam Bulan Purnama Sebagai Atraksi Rutin di Ponorogo




Kabupaten Ponorogo sebagai sebuah kota yang di kenal dengan asal Atraksi Reog Ponorogo memiliki beragam objek dan daya tarik wisata. Tentu saja sebagai atraksi utamanya adalah Reog itu sendiri. Namun sebagai kota asal Seni Budaya Reog, ternyata tidak setiap hari kita bisa menjumpai pagelaran seni tradisional ini. Banyak pertanyaan yang diajukan oleh wisatawan lokal ataupun mancanegara, bahkan masyarakat dari daerah di luar Kabupaten Ponorogo yang menanyakan tentang Reog Ponorogo.
Pertanyaan yang sering kali sulit dijawab adalah ” Kapan saya bisa melihat Reog Ponorogo di sana?” atau “Apakah Reog selalu ada saat saya berkunjung di sana?” atau yang satu ini, “Di mana saya bisa melihat Reog bila sewaktu-waktu berkunjung kesana?”. Hal tersebut sangat sulit dijawab bahkan oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo. Kebanyakan jawaban yang diberikan yaitu seputar Grebeg Suro dan Festival Reog yang diselenggarakan di Aloon-aloon Ponorogo.
Hal itu tentu saja aneh, mengingat Ponorogo sebagai kota asal Reog, namun ternyata tidak lazim diadakan sebagai rutinitas untuk menarik kunjungan wisatawan. Setelah mengkonfirmasi masalah tersebut dengan Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) Ponorogo, ada sedikit harapan bagi semua kalangan masyarakat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Disparda Ponorogo menjelaskan, bahwasanya Kab. Ponorogo memiliki rutinitas untuk menampilkan Reog Ponorogo sebagai Atraksi Budaya. Rutinitas diadakan bertepatan dengan adanya bulan purnama atau setiap tanggal 14 menjelang 15 kalender jawa atau kalender islam. Beberapa alasan yang muncul adalah karena biaya pengadaan pagelaran Reog tidak sedikit, sehingga di jadwalkannyalah pada setiap Malam Bulan Purnama.


Pagelaran tersebut dilakukan di Panggung Utama Aloon-Aloon Ponorogo pada pukul 19.30 WIB dan apabila terjadi hujan atau kendala lainnya maka tempat pagelaran dipindahkan di Paseban Aloon-Aloon Ponorogo. Pelaku seni yang memainkan pagelaranpun tidak berasal dari satu sanggar tari atau desa, melainkan dari kecamatan-kecamatan di Ponorogo secara acak dan bergiliran. Setiap kecamatan di Ponorogo memikili Yayasan Reog Ponorogo. Bahkan, dari salah satu sumber yang bisa dipercaya, hampir seluruh desa di Ponorogo memiliki Reog. 1 Kecamatan memiliki beberapa desa, yang juga memiliki Reog. Artinya setiap Kecamatan memiliki beberapa Reog.

Bapak Bambang Wibisono selaku Kepala Bidang Kebudayaan turut menjelaskan bahwa pemilihan Reog yang akan tampil mewakili setiap kecamatan ini memiliki beberapa cara pemilihan. Kecamatan A memilih Reog yang akan tampil adalah dari Desa AB karena Desa tsb memiliki Reog dan Penari terbaik dibandingkan dari Desa lainnya di Kecamatan yang sama. Kecamatan B memilih penari-penari terbaik dari beberapa desa yang ada di lingkungan Kec. B agar dapat menjadi susunan kelompok tari terbaik dari Kecamatan tsb. Kecamatan C melakukan rolling atau perputaran dari satu desa kemudian desa yang lain, misalnya tahun ini adalah desa CA dan tahun depan giliran desa CB yang akan tampil demikian seterusnya. Hal tersebut tergantung pada kebijakan pejabat kecamatan setempat.



Sumber:  https://ponorogopedia.wordpress.com/tag/kota-ponorogo/

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers